Mitos UX: Desainer UX Profesional = Praktisi UX Sejati
Bagaimana menjadi seorang Praktisi User Experience (UX)?
Pertanyaan ini kurang lebih sudah saya jawab beberapa saat yang lalu melalui tulisan Bagaimana menjadi seorang Praktisi User Experience (UX)?.
Dalam tulisan tersebut, saya menuliskan sebuah kriteria penting seorang Praktisi UX sebagai berikut:
Seorang Praktisi UX mempunyai pengetahuan dan pengalaman untuk memakai berbagai teknik dan perangkat UX untuk mencapai hasil yang optimal berdasarkan teori dan “insight” yang kontekstual.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran banyak perusahaan di tanah air terhadap pentingnya User Experience (UX), maka semakin meningkat pula jumlah dan jenis pekerjaan terkait dengan bidang UX. Sudah banyak sekali dampak positif yang kita rasakan, tetapi ada juga beberapa dampak negatifnya.
Salah satu dampak negatif yang muncul adalah mencuatnya mitos bahwa seorang bertitel atau berjabatan yang terkait dengan UX secara otomatis adalah seorang “Praktisi UX Sejati”, misalnya: Desainer UX (UX Designer), Peneliti UX (UX Researcher), Manajer UX Research (UX Research Manager) atau titel UX lainnya.
Di lain pihak, seorang bertitel, berjabatan atau berposisi yang tidak secara langsung terkait dengan UX misalnya: Product Manager, Scrum Master, Digital Strategist, dan banyak lainnya “bukanlah” seorang Praktisi UX Sejati.
Boleh dibilang lebih dari 90% profesional dengan titel dan jabatan menggunakan huruf “U”, seperti UX Designer, UX Researcher, UX Research Manager, dan lainnya yang bekerja secara profesional di perusahaan startup, unicorn, maupun multi-nasional di tanah air sudah pernah mengikuti pembelajaran UX dari saya dan Ibu Eunice Sari melalui berbagi pelatihan profesional, corporate training, sesi sharing, meetup, konferensi, sertifikasi, atau workshop terkait UX di tanah air, internasional, dan juga online.
Dari berbagai kesempatan berinteraksi, dengan para profesional “U” ini, saya mengamati bahwa sebenarnya banyak sekali praktek UX menyimpang yang dilakukan oleh para profesional “U” ini secara sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, antara lain:
- Praktek UX dilaksanakan secara terisolasi. Hal ini bisa terjadi karena walaupun kesadaran mengenai pentingnya UX di tempat kerja sudah ada, namun belum terintegrasi dengan proses bisnis dengan baik. Hal ini menyebabkan para profesional “U” ini tidak mampu untuk mempraktekkan prinsip-prinsip UX secara baik dan benar di tempat kerjanya secara kolaboratif dengan rekan-rekan kerja lainnya.
- UI = UX atau UI/UX. Dengan adanya titel atau jabatan seperti ini, seorang praktisi UX biasanya merangkap sebagai Graphic Designer, Visual Designer, Creative Designer atau Visual Communication Designer. Biasanya hal ini terjadi karena pemahaman mengenai beda antara UI dan UX masih kurang.
- Menggunakan jalan pintas dalam proses UX. Biasanya hal ini dilakukan karena UX hanya dianggap sebagai syarat supaya atasan atau investor senang, misalnya: Melakukan Uji Kebergunaan (Usability Testing) dengan teman sekantor sendiri yang notabene bukan calon pengguna produk yang diuji atau hanya dengan membuat kuestioner singkat di media sosial.
Dari segi positifnya, saya melihat banyaknya profesional “U” yang sebenarnya secara terbuka sharing mengenai pengalaman-pengalamannya tersebut melalui forum online, kopdar dan meetup.
Dari segi negatifnya, sharing mengenai praktek UX yang menyimpang dan kurangnya refleksi profesional dan komunal profesional, menjadikan praktek UX yang menyimpang tersebut sebagai “de facto” dari praktek UX yang baik dan benar di tanah air untuk sebagian profesional “U”.
Sebagai contoh: Seorang pembelajar UX tanah air menyatakan bahwa instruktur pelatihan adalah seorang “praktisi sejati” yang (karena) bekerja sebagai “profesional UX Designer”. Persepsi yang salah ini bisa berkembang menjadi masalah apabila penyimpangan praktek UX yang diajarkan oleh si “profesional UX Designer” ini ternyata ditiru (dengan lebih parah) oleh si pembelajar UX yang masih pemula ini. Ilustrasi yang cocok untuk hal ini adalah peribahasa tradisional: Guru kencing berdiri, murid berlari.
Lalu kenapa permasalahan ini menjadi sesuatu yang serius?
Penguatan (amplification) dan kebisingan (noise)
Dalam teori komunikasi, gangguan atau interferensi terhadap pesan atau informasi yang menyebabkan distorsi terhadap pesan asli dapat dianggap sebagai kebisingan (noise). Apabila seseorang melakukan transmisi ilmu pengetahuan, maka penyimpangan, kesalahpahaman, pemahaman yang kurang atau salah biasanya juga ikut ditransmisikan bersama pesan aslinya.
Penguatan (amplification) akan terjadi apabila transmisi ilmu pengetahuan itu dilakukan terhadap banyak orang, secara berantai dan/atau dilakukan secara berulang. Semakin banyak yang ditransmisikan dan semakin sering transmisi yang bermuatan kebisingan ini terjadi, maka pada akhirnya kebisingan tersebut bisa menjadi lebih kuat daripada pesan aslinya. Hal ini pada akhirnya menjadi mitos atau bahkan hoaks yang akhir-akhir ini semakin kuat gemanya di tanah air, termasuk di bidang UX.
Apabila Anda seseorang yang sedang belajar UX, dan tertarik untuk belajar dari seorang profesional “U”, berikut adalah beberapa saran untuk memastikan Anda belajar dari seseorang yang kompeten di bidang UX:
- Pengalaman spesifik di bidang UX. Cari informasi berapa lama pengalaman spesifik di bidang UX yang dimiliki. Pengalaman spesifik tersebut bukan sebagai Graphic Designer, Market Researcher, atau peran lainnya. Sebagai patokan, 0–5 tahun bukanlah waktu yang cukup untuk dapat mendalami bidang UX secara keseluruhan dengan peran spesifik sebagai seorang profesional “U”.
- Hanya berpengalaman di sebuah produk atau layanan. Cari informasi jenis produk dan layanan apa saja yang pernah dirancang, diteliti dan dikembangkan. Walaupun sudah berpengalaman selama puluhan tahun, apabila seseorang hanya pernah bekerja dengan produk dengan jenis yang sama, apalagi hanya di fitur khusus tertentu saja, misalnya: e-commerce saja, e-commerce di bagian checkout saja, atau aplikas ride-hailing untuk driver saja, maka tentu saja pengetahuannya akan terbatas di produk, layanan dan fitur-fitur tertentu.
- Jangan mudah terbuai dengan nama brand yang terkenal, titel atau jabatan “U”. Kebetulan saya beruntung karena seringkali berinteraksi dengan beragam praktisi UX di Indonesia dan juga seluruh dunia, dari level Director of UX (C-level) sampai entry-level profesional “U”. Saya mengamati bahwa seorang praktisi UX dengan afiliasi perusahaan yang mempunyai brand terkenal tidak menjamin profesionalisme, ilmu pengetahuan dan pengalaman dari praktisi UX tersebut. Seringkali bahkan masalah birokrasi dan keterbatasan-keterbatasan dari sebuah perusahaan dengan brand yang terkenal membuat seorang praktisi UX belum bisa mengembangkan produk dan layanan menggunakan prinsip-prinsip UX dengan baik dan benar.
Di sisi yang lain, apabila Anda seorang profesional “U” yang tertarik untuk berbagi ilmu, berikut adalah beberapa saran supaya Anda dapat berbagi ilmu secara etis dan pada saat yang bersamaan mengembangkan profesionalisme Anda:
- Berikan kredit yang sesuai. Apabila bahan pembelajaran Anda bagikan bersumber dari pelatihan UX yang pernah Anda ikuti, dari seseorang atau dari sebuah sumber yang kredibel, pastikan Anda mereferensikan secara adil (fair) dan memberikan kredit yang layak. Hal ini akan meningkatkan kredibilitas Anda sebagai seorang praktisi UX yang dapat melakukan proses analisa dan sintesa yang baik berdasarkan pembelajaran dan refleksi pengembangan profesionalisme Anda.
- Tunjukkan kerendahan hati. Tak ada gading yang tak retak. Apabila pembelajaran UX yang Anda dapatkan hanya berdasarkan pengalaman Anda yang terbatas, entah dalam waktu jangka pengalaman ataupun jenis produk dan layanan tertentu, informasikan hal ini terhadap pembelajar di awal, sehingga sang pembelajar bisa memaklumi apabila masih ada kekurangan.
- Hindari asumsi dan omong kosong (hoaks). Ada seseorang yang pernah bekerja dengan jabatan “U” yang dengan sombong menulis bahwa sebagai orang Indonesia kita harus mengacu kepada perusahaan startup kelas dunia seperti Facebook (Omong-omong, Facebook bukan startup) untuk belajar mengenai jenis pekerjaan seorang Desainer UX yang ideal melalui lowongan-lowongan pekerjaannya. Tidak berhenti di situ, kemudian si doi menjelaskan berbagai solusi omong kosong yang diklaim sebagai solusi mutakhir yang dipakai oleh Facebook di bidang riset dan Desain UX.
Sebagai seseorang yang sudah pernah bertandang ke kantor pusat Facebook di Amerika Serikat dan berbincang-bincang dengan tim UX-nya, saya bisa memastikan bahwa yang diungkapkan si doi hanyalah asumsi dan omong kosong belaka (hoaks). Dalam interaksi saya dengan tim Facebook, saya tidak melihat dan tidak pernah mendengar solusi-solusi konyol yang ditulis oleh si doi tersebut dipakai oleh tim Facebook sendiri di bidang riset and Desain UX.
- Terus belajar (Continuous Learning). Sebagai seorang praktisi UX yang sudah bergelut di dunia UX hampir 20 tahun, saya belajar bahwa bidang UX sangatlah dinamis. Seperti seorang dokter yang harus selalu mengupdate pengetahuannya untuk terobosan-terobosan baru di bidang medis untuk membantu pasiennya, seorang praktisi UX sejati juga harus melakukan hal yang sama untuk dapat memberikan dampak yang positif bagi yang dibantu. Terus semangat untuk belajar UX menggunakan 10 Cara untuk Belajar UX.
Setelah membaca tulisan di atas, apakah Anda masih percaya dengan mitos bahwa Desainer UX Profesional = Praktisi UX Sejati?